Kamis, 08 Oktober 2009


Lagu yang dinyanyikan oleh Bunga Hitam ini sangat memberi informasi kepada kita mengenai kehidupan para punk jalanan.

Lagu yang berjudul “Dukung Yang Berikutnya” (2:25) dengan lirik seperti berikut ini:

Punk bicara tentang kebersamaan
Yang membuat kita bersatu dan kuat
Punk bicara tentang kebebasan
Kontrol diri tanpa norma yang menjerat

•>
Generasi punk yang merah membara, mengharap dukungan kita semua
Kebersamaan yang kita jalankan, kan membuat mengerti semua

Reff:
Punk bicara tentang kebersamaan
Punk bicara tentang nilai kebebasan [2x]

Lirik ini bermakna bahwa kehidupan anak – anak punk jalanan yang penuh keakraban dan kebersamaan seperti halnya dengan semboyan mereka EQUALITY AND FREEDOM, yanitu bersama dan kebebasan. Dengan semboyan seperti itu rasanya sangat sulit untuk mencerai berai mereka. Juga butuhnya dukungn generasi muda punk street yang baru.

Tapi, tidak semua orang menganggap punk itu bukan ancaman bagi mereka. Ada sebagian orang yang menganggap dengan pakainnya yang lusuh, kotor, sobek, serta penuh emblem dan dipenuhi dengan tindik, percing, rambot mo hawk, rantai, bahkan bertato dianggap sebagai sampah masyarakat. Kenyataannya, salah. Banyak anak – anak punk yang berhati nurani baik misalnya ketika mereka mengamen di tempat – tempat umum yang hasilnya biasanya digunakan untuk memberi makan para pengemis ataupun pemulung.

Sungguh itu adalah sebuah peringatan bagi kita agar tidak memandang sesuatu dari luarnya saja. Kita lihat para pejabat yang berdasi rapi, ber-jas, mobil mewah, sepatu bagus malah justru adalah sampah masyarakat ketika ia tidak memiliki belas kasihan kepada rakyat miskin. Dan sebaliknya, para punk street dengan gaya dan cara berpakaian mereka yang seperti malah sikap mereka patut ditiru. surabaya_scumpunk@yahoo.com

Labels:





Street Punk, Kehidupan atau Pelarian ?!

Sejak Marjinal bermarkas di Gang Setiabudi, Setu Babakan, Jakarta Selatan, dari hari ke hari kian banyak saja anak muda yang datang dan terlibat dalam program workshop. Selain membuka workshop cukil kayu dan musik, Marjinal mengusahakan distro sederhana. Sebuah lemari etalase diletakkan di beranda, menyimpan pelbagai produk Taringbabi; dari kaos, kaset, pin, stiker, emblem, zine sampai buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer. Di dinding didisplay puluhan desain kaos, di ruang tamu yang selalu riuh itu. Di tengah-tengah kotak display, ada gambar tengkorak yang berbarik sebagai ikon Taringbabi.

Para punker biasanya datang secara berkelompok. Biasanya mereka duduk-duduk di beranda depan, melepas penat, setelah seharian berada di jalanan, sambil asyik ngobrol dan bermain musik. Dengan ukulele (kentrung), gitar dan jimbe mereka menyanyikan lagu-lagu Marjinal. Bob dan Mike pun ikut nimbrung bernyanyi bersama. Mike memberitahu accord atau nada sebuah lagu, dan menjelaskan makna dari lirik lagu itu. Proses belajar dan mengajar, secara tidak langsung terjadi di komunitas, dengan rileks.

Sebagian besar anak-anak itu memilih hidup di jalanan, sebagai pengamen. Ada yang masih sekolah, banyak juga yang putus sekolah. Mereka mengamen untuk membantu ekonomi orangtua. Sebagian besar mereka berlatar belakang dari keluarga miskin kota, yang tinggal di kampung-kampung padat penduduk; Kali Pasir, Mampang, Kota, Matraman, Kampung Melayu, Cakung, Cengkareng, Cipinang dan lain sebagainya. Bahkan ada yang datang dari kota-kota seperti Medan, Batam, Serang, Bandung, Indramayu, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Yogyakarta, Malang, Surabaya, Denpasar, Makasar, Manado, dll. “Dengan mengamen mereka bisa bertahan hidup, dengan mengamen mereka bisa membiayai sekolah dan membantu belanja sembako untuk ibu mereka.,” kata Mike, aktifis Marjinal.

Jika sekilas memandang penampilan mereka, boleh dibilang sebagai punk: ada yang berambut mohawk, jaket penuh spike, kaos hitam bergambar band-band punk dengan pelbagai slogan anti kemapanan. Kaki mereka dibalut celana pipa ketat dan mengenakan sepatu boot, ada juga yang hanya bersandal jepit.

Bagi anak-anak jalanan itu, Marjinal bagaikan oase, mata air yang menyegarkan kehidupan dan hidup mereka, di tengah cuaca kebudayaan Indonesia yang masih memarjinalkan anak-anak miskin kota, seperti yang didedahkan lirik lagu Banyak Dari Teman-temanku berikut ini:

Banyak dari teman-temanku / Lahir dari keluarga miskin / Di mana engkau enggan melihatnya, disana tak sederhana / Tak ada lagi banyak pilihan / / Diantara bising kereta / Dan sudut-sudut kumuhnya pasar / Di bawah terik matahari, disana tak sederhana / Tersangkut tajamnya pagar berduri / / Pelajar yang putus sekolah / Perempuan dan pekerja kasar / Dibawah beban yang dipikulnya, mereka tak sederhana / Terjebak pilihan yang berbahaya / / Tidur beralas tikar, dingin beratap mimpi / Tapi semuanya sirna oleh kenyataan / Kepala jadi kaki, kaki jadi kepala / Disunat dipotong-potong dicincang-cincang / / Banyak dari teman-temanku yang hidup dijalan sana / Dimana kau tak merindukannya mereka kian tersiksa / Tergusur gagahnya gedung yang somse (sombong sekali ah!) / / Di balik tirai yang suram dan dipinggir keangkuhan / Bergelut dengan kegelapan tersungkur di kaki besi / Tertembus panasnya timah kebencian

***

Persoalan anak jalanan di kota-kota besar di negeri ini sudah lama diperbincangkan, mulai dari kampus, kelompok studi, sampai seminar di hotel berbintang lima. Namun, untuk mengurai persoalan ini tidak mudah sebab menyangkut perut banyak orang. Banyak oknum yang memeras anak jalanan.

Pada saat krisis ekonomi, jumlah anak jalanan melonjak 400 persen. Sedangkan Departemen Sosial, tahun 1998 memperkirakan, jumlah anak jalanan mencapai angka 170.000 anak. Anak jalanan, secara umum akan dibilang anak jalanan yang masih tinggal dengan orantuanya atau keluarganya dan anak jalanan yang benar-benar lepas dari keluarganya serta hidup sembarangan di jalanan. Usia mereka 6-15 tahun.

Kehidupan anak muda di jalan adalah satu subkultur. Sebuah subkultur selalu hadir dalam ruang dan waktu tertentu, ia bukanlah satu gejala yang lahir begitu saja. Kehadirannya akan saling kait mengait dengan peristiwa-peristiwa lain yang menjadi konteksnya. Untuk memudahkan kita memahami gagasan mengenai subkultur anak muda jalanan, mari mencermati peta antara hubungan anak muda dan orang tua, serta kultur dominan sebagai kerangkanya.

Sekurang-kurangnya, ada dua pihak yang –berkat dukungan modal yang melekat pada dirinya– berupaya mengontrol kehidupan kaum muda, yaitu negara dan industri berskala besar. Di Indonesia, pihak pertama yaitu negara berupaya mengontrol kehidupan anak muda melalui keluarga. Keluarga dijadikan agen oleh negara, sebagai saluran untuk melanggengkan kekuasaan.

Melalui UU No. 10/1992 diambil satu keputusan yang menjadikan keluarga sebagai alat untuk mensukseskan pembangunan. Keluarga tidak hanya dipandang memiliki fungsi reproduktif dan sosial, melainkan juga fungsi ekonomi produktif. Pengambilan keputusan keluarga dijadikan alat untuk mensukseskan pembangunan, pada gilirannya, membawa perubahan pada posisi anak-anak dan kaum muda dalam masyarakat.

Negara memandang anak-anak dan kaum muda sebagai satu aset nasional yang berharga. Karena itu, investasi untuk menghasilkan peningkatan modal manusia (human capital) harus sudah disiapkan sejak sedini mungkin. Dalam hal tugas orang dewasa adalah melakukan penyiapan-penyiapan agar seorang anak bisa melalui masa transisinya menuju dewasa. Akibatnya ada pemisahan yang jelas antara masa anak-anak dan masa muda dengan masa dewasa. Adalah tugas orang tua untuk memberikan pemenuhan gizi yang dibutuhkan, mengirim ke sekolah sebagai bagian dari penyiapan masa transisi.

Saya Shiraishi (1995) yang banyak mengamati kehidupan keluarga dan masa kanak-kanak dalam masyarakat Indonesia mutakhir mengatakan bahwa implikasi lebih lanjut dari gagasan keluarga modern itu pada akhirnya menempatkan anak-anak sepenuhnya dibawah kontrol orangtua. Orangtua menjadi kuatir bila anaknya tidak mampu melewati masa transisi dengan baik, misalnya putus sekolah, dan akan terlempar menjadi kaum “tuna” (tuna wisma, tuna susila dan tuna lainnya), kaum yang kehidupannya ada di jalanan.

Kekuatiran ini bisa dilihat secara jelas dengan streotipe mengenai kehidupan jalanan sebagai kehidupan “liar”. Bukanlah satu hal yang mengada-ada bila kemudian para. orang tua lebih memilih untuk memperpanjang proteksi anak-anaknya untuk berada di dalam rumah sebab lingkungan di luar rumah dianggap sebagai”liar” dan mengancam masa depan anaknya. Pilihan untuk memperpanjang masa proteksi anak-anak inilah yang kemudian ditangkap sebagai peluang niaga oleh para pengusaha.

Belakangan ini dengan mudah kita bisa melihat berbagai produk atau media untuk membantu penyiapan masa transisi anak-anak. Berbagai media cetak dan elektronika mengeluarkan berbagai produk bagaimana menyiapkan anak secara “baik dan benar” dalam rangka pengembangan sumber daya pembangunan. Para orang tua pada. gilirannya akan lebih mengacu pada berbagai media itu sendiri dibandingkan pada peristiwa sehari-hari yang dialami oleh anaknya.

Cara membesarkan anak yang diimajinasikan oleh negara dan pemilik modal inilah yang kemudian menjadi wacana penguasa (master discourse) untuk anak-anak Indonesia. Ia digunakan sebagai alat untuk menilai kehidupan keseluruhan anak dan kaum muda di Indonesia. Hasilnya seperti yang ditunjukkan Murray (1994) adalah mitos kaum marjinal: yang dari sudut pandang orang luar menggambarkan orang-orang ini sebagai massa marjinal yang melimpah ruah jumlahnya dengan budaya kemiskinan dan sebagai lingkungan liar, kejam dan kotor … sumber pelacuran, kejahatan dan ketidakamanan.

Jalan raya bukanlah sekadar tempat untuk bertahan hidup. Bagi kaum muda tersebut jalanan juga arena untuk menciptakan satu organisasi sosial, akumulasi pengetahuan dan rumusan strategi untuk keberadaaan eksistensinya. Artinya ia juga berupaya melakukan penghindaran atau melawan pengontrolan dari pihak lain.

Sebuah kategori sosial, anak jalanan, bukanlah satu kelompok yang homogen. Sekurang-kurangnya ia bisa dipilah ke dalam dua kelompok yaitu anak yang bekerja di jalan dan anak yang hidup di jalan. Perbedaan diantaranya ditentukan berdasarkan kontak dengan keluarganya. Anak yang bekerja di jalan masih memiliki kontak dengan orang tua, sedangkan anak yang hidup di jalan sudah putus hubungan dengan orang tua.

Soleh Setiawan, seorang anak jalanan yang sudah hampir dua puluh tahun hidup di jalan menuturkan pengalamannya. Katanya, waktu kecil ia banyak ngeluyur di kampung Arab lalu sempat sekolah di Al-Irsyad, sebuah sekolah ibtidaiyah di Pekalongan. Tapi ia lebih senang bermain di jalan dibanding sekolah, lebih banyak bermain dari pada belajar. Sejak kecil dia tidak mengenal orangtua kandungnya. Dia dibesarkan seorang pamannya yang juga lebih banyak hidup di jalan. Seorang dokter yang cukup terpandang di Pekalongan mengadopsinya. Tetapi Soleh kecil selalu tidak merasa betah tinggal di rumah itu walau segala kebutuhannya dicukupi oleh orangtua angkatnya. Dia lebih sering bermain di luar rumah, sehingga orangtua angkatnya murka. Soleh pun minggat dari rumah. Dengan menumpang kereta api barang, ia pergi ke beberapa kota di Jawa, lalu ikut kapal penangkap ikan dengan rute pelayaran Kalimantan – Bali. Ia bekerja sebagai koki kapal selama 3 bulan.

Ketika pertama kali hadir di jalan, seorang anak menjadi anonim. Ia tidak mengenal dan dikenal oleh siapapun. Selain itu juga ada perasan kuatir bila orang lain mengetahui siapa dirinya. Tidaklah mengherankan bila strategi yang kemudian digunakan adalah dengan menganti nama. Hal ini dilakukan untuk menjaga jarak dengan masa lalunya sekaligus masuk dalam masa kekiniannya. Anak-anak mulai memasuki dunia jalanan dengan nama barunya. Ketika hidup di jalanan, Soleh dipanggil Gombloh karena sering nggambleh, bergelantungan di mobil atau kereta api, pergi ke mana pun tanpa tujuan. Biasanya anak-anak yang berasal dari daerah pedesaan menggganti dengan nama-nama yang dianggap sebagai nama “modern” yang diambil dari bintang rock atau yang yang biasa didengarnya misalnya dengan nama John, Jimi, Tomi dan semacamnya.

Proses penggantian sebutan itu dengan sendirinya menunjukkan bahwa ia bukan sekadar pergantian panggilan saja tetapi juga sebagai sarana menanggalkan masa lalunya. Artinya ia adalah bagian dari proses untuk memasuki satu dunia (tafsir) baru. Sebuah kehidupan yang merupakan konstruksi dari pengalaman sehari-hari di jalan.

***

Apakah mereka memahami apa itu punk?

Mike: Terus terang gua ngasih acungan jempol buat teman-teman yang hidup di jalan… Mereka punya kebanggaan, berpenampilan ngepunk, mereka tetap bertahan walau orang-orang sekitar yang melihat menilainya macam-macam. Bagi gua itu sebuah bentuk perlawanan juga. Melawan pikiran-pikiran orang yang sudah dimapankan — yang menganggap negatif karena melihat penampilan orang lain yang beda, menyimpang, diluar kelaziman. Tapi yang lebih penting adalah nilai-nilai punk dalam prakteknya berkembang dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimana mereka bisa survive, menjalin kebersamaan, saling peduli satu sama lain dan tetap mengunggulkan rasa dan kebebasan. Hidup di jalanan kan penuh tantangan. Apalagi sesusia mereka, ada yang masih anak-anak, yang orang bilang diluar kewajaran — ketika anak-anak yang lain kan sekolah, pulang ke rumah, bermain, latihan ini dan itu, les piano … Mereka hidup di jalanan mencari uang untuk membantu orangtua. Kadang dikejar dan digaruk trantib. Digertak atau diperas orang yang sok jagoan, macho… Tapi dalam posisi bertahan hidup di jalan, mereka mandiri, sehat, gembira, dan punya rasa humor. Buat gue itu penting, manusiawi banget!

Tapi, di sisi lain Mike prihatin ketika melihat para punker yang hidup di jalan, hanya menjadikan jalanan sebagai tempat nongkrong dan mabuk-mabukan. Mereka mencari uang dengan mengamen tapi hasil jerih payahnya itu hanya untuk membeli obat-obatan (drugs) dan minuman beralkohol. Mereka masih berusia belasan tahun, tiba-tiba memutuskan berhenti sekolah dan lari dari rumah, karena terpengaruh teman-teman nongkrong . Mereka menenggak minuman dan menelan puluhan tablet dextro (tablet obat batuk yang disalahgunakan untuk mabuk). Banyak dari mereka adalah perempuan berusia dini, dan menjadi korban pelecehan seksual.

Bagi mereka, punk sebatas tempat pelarian. Lari dari kesumpekan rumah. Lari dari tekanan hidup. Lari dari tanggungjawab. Lari dari kenyataan! Di kepala mereka, dengan berpenampilan diri seperti punker, mereka bisa bebas dari segala bentuk tekanan hidup, bebas semau-gue, bebas nenggak minuman atau menelan puluhan tablet dextro, bebas mengekspresikan diri sebebas-bebasnya walau masyarakat di sekitarnya terganggu, seperti yang terjadi berikut ini:

Pada suatu siang yang gerah, empat anak-muda (belasan tahun) berjalan oleng di depan squat Marjinal. Mereka sudah beberapa kali mondar-mandir, dan seorang diantaranya berwajah pucat, matanya terpejam, dalam keadaan mabuk berat, sehingga menjadi tontonan warga. Ketika ditanya tujuannya hendak ke mana, mereka cuma menggeleng-gelengkan kepala sambil meringis.

Anak-anak kampung Setiabudi (berusia belasan tahun) pun mengarak mereka ke pinggir kali. Segala atribut punk yang melekat di tubuh mereka dilemparkan ke kali, sambil diteriaki,”Pecundang! Pecundang! Pecundang!” Setelah itu, mengusir mereka.

Kejadian serupa, akhir-akhir ini banyak terjadi di beberapa tempat di Jakarta. Bahkan ada aksi kriminal, seperti kasus perkosaan yang terjadi di terowongan Casablanca yang dilakukan segerombolan orang yang beratribut punk, yang diceritakan Kodok (personil Bombardir). “Begitu mendengar kejadian itu, gue bareng warga menyisir beberapa tempat yang biasanya jadi tempat nongkrong mereka,” ujar Kodok dengan nada tinggi.

Squat Marjinal juga sering kedatangan para orangtua yang mencari keberadaan putrinya — (seperti Nia dari Citayam). Belum lagi pertanyaan-pertanyaan para ibu tentang putra-putri mereka yang berperilaku “aneh” di mata mereka. “Rambut diwarnai merah, sering diluar rumah, dan malas sekolah, maunya pergi jauh ke Jawa padahal gak megang duit” kata seorang ibu dari Pondok Kopi.

Sampai saat tulisan ini dibuat, masyarakat awam masih memandang Punk sebagai sebuah organisasi yang terpusat. Sehingga wajar saja apabila para orangtua menanyakan segala sesuatu menyangkut putra-putrinya ke squat Marjinal. Pada kenyataannya, punk adalah satuan-satuan kecil komunitas yang menyebar. Di luar itu, adalah massa cair seperti yang dipresentasikan para gerombolan yang beratribut punk di jalanan.

Berbeda dengan gerombolan yang beratribut punk di jalanan yang ngamen untuk mabuk, punk jalanan yang beken juga di sono disebut street punk adalah sebuah gerakan budaya tanding ( counter cilture) yang melawan kemapanan budaya dominan yang dibentuk oleh sistem kekuasaan. Street punk muncul di Inggris pada tahun 1980-an, pada masa rezim Perdana Menteri Margareth Thatcher, dari Partai Konservatif, yang kebijakan ekonominya sangat liberal, memberi peluang kapitalis mengembangkan pasar modal (ekonomi uang) tetapi di sisi lain mengabaikan kelas pekerja, sehingga pengangguran pun merajalela. Ketika pabrik-pabrik menutup lowongan pekerjaan, bahkan memecat banyak karyawannya dengan alasan efesiensi, masyarakat kelas pekerja menggunakan jalanan sebagai tempat mencari nafkah, membuat jejaring-kerja, serta aksi protes yang diselingi karnaval dan musik.

Sebagai sub-kultur Punk terinspirasi oleh karya-karya seni perlawanan. Antara lain, dari novel karya Charles Dickens, yang sebagian besar menceritakan nasib anak-anak (dari panti asuhan) yang dipaksa bekerja sebagai pembersih cerobong asap di pabrik-pabrik yang menggunakan teknologi mesin uap untuk menggenjot produksi pada era Revolusi Industri. Anak-anak itu merasa tersiksa bekerja sehari-semalam, tanpa makanan yang cukup, di tempat-tempat yang kumuh tidak berpenerangan. Mereka akhirnya memberontak, menolak segala bentuk eksploitasi! Mereka lari dari panti-asuhan! Lalu memutuskan hidup secara kolektif. Mereka menggunakan jalanan di London sebagai sumber mencari nafkah dan ilmu-pengetahuan. Dan terbebas dari eksploitasi.

Bagi seorang punk, jalanan adalah kehidupan. Di jalanan mereka bertemu dengan orang-orang, di jalanan mereka saling berbagi pengetahuan, di jalanan mereka berdagang, di jalanan mereka menyuarakan kebenaran melalui nyanyian. Pada 1980-an, terjadi bentrokan hebat antara punker dan hippies, karena perbedaan persepsi tentang kehidupan di jalanan. Bagi hippies, jalanan adalah ruang publik sebagai tempat mereka mengekspresikan kemuakan akan kehidupan yang diwarnai perang dan ancaman nuklir. Di jalanan mereka berdemonstrasi membagi-bagikan bunga, seks bebas (war no, sex yess) dan menenggak obat-obatan (drugs) –mereka ingin lari (escape) dari kehidupan ini. Kebalikannya, punk melihat kehidupan ini sebagai projeksi, tergantung si individu itu untuk melakukan perubahan. Perubahan itu dimulai dari yang tidak ada, doing more with less, menjadi sesuatu yang ada dan berarti. Punk tak pernah lari dan sembunyi ketika dihadapkan pada problematika kehidupan. Hadapi! Tuntaskan!

Melihat fenomena gerombolan yang beratribut punk yang nongkrong, mabuk dan mondar-mandiri di Jakarta akhir-akhir ini, tidak perlu dipertanyakan lagi… Mereka bukan punk! Mereka hanya beratribut punk tetapi jalan hidupnya adalah hippies! Hanya hippies yang lari dari kehidupan, dengan nenggak minuman dan obat-obatan (drugs), mereka lari dari kebebasan (escape from freedom). ***

*) Tulisan ini nukilan dari manuskrip buku “ Marjinal: Punk – Blaut!”oleh Haska, yang akan terbit Oktober yang akan dating.

sumber : koran-marjinal

marjinal dan taring babi


WELCOME TO TARING BABI (nama TARING BABI telah bertukar menjadi SAPI BETINA. Namun hanya nama yang berganti tapi perjuangan komunitas mereka ini tetap sama .. dan terus melawan klik http://koran-marjinal.blogspot.com/2008/01/dari-taringbabi-ke-sapibetina.html) Welcome to Taring Babi adalah judul sebuah film dokumenter karya Mash, mahasiswa antropologi Humbolt University, Berlin, Jerman yang ditayangkan pada publik bulan Juli yang lalu di Institut Global Justice (IGJ), Jakarta. "Welcome to Taringbabi" merupakan reportase tentang komunitas Taringbabi yang juga menjadi tulangpunggung band Marjinal, sebuah band punk rock. Film berdurasi sekitar 20 menit itu dibuka dengan kemunculan Bob OI yang memandu melihat seluk-beluk aktifitas Taringbabi sebagai komunitas punk yang berinteraksi dengan warga Gang Setia Budi, Setu Babakan, Srengseng Sawah, Jakarta Selatan."Welcome to Taringbabi" (2007) secara sederhana menjelaskan bagaimana kehidupan punk di tengah (kampung) masyarakat, merayakan perbedaan dengan kreatif dan produktif. tentang Marjinal di myspace : http://www.myspace.com/marjinalsapibetina blog : taring babi http://koran-marjinal.blogspot.com/ Marjinal dibentuk 12 tahun yang silam, pada 22 Desember — bertepatan dengan Hari Ibu di kalender nasional. Dua belas tahun yang lalu (1996), kite ketemu di sebuah kampus grafika di Jakarta Selatan. Awalnya, gue pengen kuliah, tapi makin lama semakin nggak tertarik. Apa yang dipelajari di kampus udeh kita kuasai, gue udah gape menggambar, bikin desain, demikian juga yang laen. Kebanyakan kita ketemu ngobrolin situasi di luar kampus, yang atmospherenya represif, nggak bebas mengeluarkan pendapat atau berekspresi. Lalu kita bangun sebuah jaringan namanya Anti Facist Racist Action (AFRA), yang terlibat adalah kawan-kawan yang mempunyai kesadaran melawan sistem yang fasis banget. Kita gunakan media visual, lewat poster dari cukil kayu, baliho dan lukisan yang menggugah kesadaran generasi muda, untuk melawan sistem fasis yang diusung Orde Baru. Selain melakukan diskusi, penerbitan newsletter, dan aksi turun ke jalan Kita secara kebetulan gape juga main musik. Ya, dengan modal gitar n jurus tiga kunci, kita maen musik, bikin lagu sendiri yang berangkat dari kenyataan hidup sehari-hari. Mike Marjinal:Lalu kita namakan kelompok itu Anti Military. Dalam perkembangannya, Anty Military dipahami orang-orang sebagai sebuah band akhirnya Padahal kita bukan anak band! Musik ini kan sebagai alat komunikasi kepada khalayak yang lebih luas, lebih asyik.. medium menyampaikan pesan dan jadi inspirasi untuk anak-anak di pergerakan ke depan, ketika melihat kenyataan kehidupan sosial-politik dikangkangi rejim yang fasis militeristik. Dari awal, kesadaran kita bukan sebagai anak band. Setelah Harto digulingkan, kita melihat dimensi yang lebih luas lagi. Persoalannya bukan lagi rejim yang fasis dan rasis saja. Tapi lebih luas lagi Negeri ini jadi negeri ngeri Banyak tragedi, perang saudara, buruh-buruh diperas, dieksplioitasi, rumah sakit dan pendidikan begitu komersial, kereta-api sebagai sarana angkutan melayani orang seperti mengangkut binatang. So dari sistem yang fasis, anti demokrasi, terpusat dan korup.. kini menyebar ke sendi-sendi kehidupan bangsa. Kita lupa bagaimana para pejuang dulu mendirikan Indonesia sebagai sebuah nation. Indonesia kan didirikan sebagai kesatuan dari tekad para pemuda yang beragam suku, agama, latar belakang sosialnya itu bersatu membangun sebuah nation! Lalu kita ganti nama, dari Anti Military jadi Marjinal. Kisahnya, ketika Mike dapat nama Marjinal, dia terinspirasi oleh nama pejuang buruh perempuan yang mati disiksa militer, Marsinah..Marsinah MARJINAL Kata Marjinal sendiri waktu itu kan belum banyak dipakai untuk menjelaskan posisi orang-orang pinggiran.

Belasan Anak Punk Kena Razia Polisi

Anak punk masih dibawah umur tertangkap setelah mencoba kabur

CIREBON : Sejumlah anak punk yang biasa mengamen di lampu merah atau bus, terjaring operasi Penyakit Masyarakat (Pekat) yang digelar Kepolisian Kota Cirebon. Gerombolan anak punk yang sedang pesta pil dextro di bangunan bekas markas PDIP di Jl Rajawali Kota Cirebon, berhamburan melarikan diri saat mengetahui ada operasi. Dari barang-barang yang tertinggal dan sejumlah anak punkyang tertangkap, petugas mendapatkan 44 butir pil dextro dan sejumlah kondom

the gags

komunitas bendera hitam